BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam sebagai sebuah agama di sisi Allah SWT yang di bawa oleh nabi
Muhammad SAW telah menciptakan perubahan besar dalam kehidupan manusia.
Perubahan tersebut kita rasakan hingga saat ini. Islam datang untuk menyelamatkan dan menyempurnakan akal
manusia, sehingga islam merupakan agama yang rasional tentunya.
Al Quran sebagai kitab suci umat islam
senantiasa menjadi petunjuk bagi manusia sepanjang masa. Al Quran menjadi dasar
pedoman umat islam dalam menentukan segala aspek kehidupan.
Salah satu pembahasan dalam Al Quran yakni
mengenai takdir. Takdir merupakan ilmu Allah. Berkenaan dengan hal itu, manusia
sebagai makhluk yang diberikan akal tentu saja mempunyai pilihan dalam
menentukan sesuatu yang diperbuatnya. Manusia dapat berkehendak sesuai dengan
apa yang ia pikirkan. Antara takdir Allah dan kehendak
manusia ini telah menimbulkan beberapa pendapat antar umat muslim. Oleh karena
itu, kita perlu membahas dan menjelaskan tentang takdir. Karena takdir tidak
hanya sebatas sebuah keyakinan semata, tetapi akan sangat berpengaruh dalam kehidupan
manusia.
. social, kejadian-kejadian di beberapa tempat seperti di mina,
banyak yang menjustifikasi itu adl qada dan qadar, lalu gimana/
Hubungan qada qadar dengan tanggung jawb manusia.
B.
Ruang Lingkup Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis
merumuskan ruang lingkup di antaranya:
1. Penjelasan mengenai takdir akan penulis jelaskan dengan melihat konsep
takdir yang diyakini oleh beberapa mazhab yakni Asy ‘ariyah, Mu’tazilah, dan
Imamiyah.
2. Penulis juga menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi takdir serta
pengaruh dan manfaatnya terhadap kehidupan manusia.
C.
Tujuan Makalah
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini yaitu:
1.
Menjelaskan tentang konsep takdir beserta faktor-faktor, pengaruh dan
manfaatnya dalam kehidupan manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Takdir
1.
Pengertian Qadha
Secara
etimologi, qadha berasal dari bahasa arab qadha yaqdhi yang artinya menetapkan.
Sedangkan secara terminology, qadha adalah pengetahuan yang lampau , yang
mana telah ditetapkan Allah sejak jaman
Azali.
Kata
qadha disini juga berarti menuntaskan
dan memutuskan sesuatu yang di dalamnya menyiratkan semacam unsur-unsur
konvensi (kesepakatan yang tersirat langsung).
2.
Pengertian Qadar
Secara etimologi, qadar berasal dari kata qaddara, yuqaddiru,
takdiirun yang berarti kadar. Pengertian ini bisa dilihat dalam ayat Allah yang
artinya “ Dan dia menciptakan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh
diatasnya. Dia memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan
(penghuninya) dalam empat masa . (penjelasan itu sebagai jawaban) bagi
orang-orang yang bertakwa.” (QS. Fushshilat 41).
Secara terminologi,
qadar adalah perwujudan ketetapan atau qadha terhadap segala sesuatu yang
berkenaan dengan makhluk allah yang telah ada sejak zaman azali sesuai dengan
iradahnya.[1] Adapun
qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).
Kata qadar ukuran (miqdar) dan taqdir (takdir)
yaitu suatu ukuran dan menjadikanya pada ukuran tertentu, atau menciptakan
sesuatu dengan ukuran yang ditentukan.
Adapaun definisi-definisi menurut ulama mutakallimin yakni:
v Golongan Asy’ariyah
Qadah
adalah iradah Allah swt dalam penentuan ajal yang berhubungan dengan segala hal
dan keadaan, kebaikan atau keburukanya keadaan yang sesuai dengan apa yang akan diciptakan Allah yang
tidak akan berubah sampai terbuktinya iradah tersebut. Sedangkan qadar adalah
mewujudkan Allah terhadap semua mahluk tertentu, baik mengenai zat ataupun
sifatnya dimana keadaan itu sesuai dengan iradah Allah.
v Golongan Maturdiyah.
Qadha
adalah iradah Allah dalam azalnya berhubungan dengan segalah hal dan keadaan,
kebaikan atau keburukanya. Keadaan mana yang sesuai dengan apa yang diciptakan
Allah tidak akan berubah sampai terbuktinya iradah tersebut. Sedangkan qadar
adalah terbuktinya semua kejadiaan dan mahluk di alam semesta , sehingga
benar-benar wujud , lengkap dengan sebabnya, serta sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan oleh Qadah Allah swt.[2]
B.
Konsep Takdir menurut Beberapa Mazhab
Qadha’ dan Qadar dapat dibagi menjadi dua bagian: qadha’ dan qadar yang
pasti (hatmi) dan qadha dan qadar yang tidak pasti (ghoiri hatmi). Berdasarkan
pembagian ini, sebagian riwayat, hadis-hadis dan doa-doa menyinggung perubahan
tersebut. Diantaranya adalah bahwa bersedekah, patuh kepada kedua orang tua,
silaturahim dan doa termasuk faktor-faktor yang bisa mengubah qadha’.
Sebagai akibat dari perbedaan paham yang
terdapat dalam aliran-aliran teologi Islam mengenai soal kekuatan akal, fungsi
wahyu dan kebebasan serta kekuatan manusia atas kehendak dan perbuatannya,
terdapat pula perbedaan paham tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang
dalam hal ini lebih mengarah kepada qadha’ dan qadar Tuhan atau takdir
Tuhan. Dan inilah perbedaan-perbedaan
mengenai qadha’ dan qadar menurut
beberapa mazhab:
1.
Mu’tazilah
Artinya bebas (ditangan manusia sendiri). Tidak
menerima pandangan jabariyah yang mengatakan bahwa semua hal baik maupun buruk,
takdir yang baik maupun buruk hanya Allah yang mampu mengatur dan
menghendakinya. Kaum Mu’tazilah mengingkari qadha’ Ilahi pada seluruh perbuatan manusia yang bersifat sengaja dan
berkehendak bebas. Maksudnya ialah kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak lagi
mempunyai sifat mutlak semutlak-mutlaknya. Seperti terkandung dalam uraian
Nadir, kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham
mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan
perbuatan.[3]
menurut mereka karena jikalau Tuhan berbuat sekehendak sendiri, maka Tuhan
tidak lagi dikatakan bersifat adil. Kaum Mu’tazilah menganut paham bahwa
tiap-tiap benda mempunyai natur atau hukum alam sendiri.
Semua
uraian diatas mennjukkan bahwa dalam paham mu’tazilah kekuasaan mutlak Tuhan
mempunyai batasan-batasan, dan Tuhan sendiri sebagai kata al-Manar, tidak bersikap
absolut seperti halnya dengan Raja Absolut yang menjatuhkan hukuman menurut
kehendaknya semata-mata. Keadaan Tuhan yang demikian lebih dekat menyerupai
keadaan Raja Konstitusional, yang kekuasaan-Nya dan kehendak-Nya dibatasi oleh
konstitusi.
2.
Asy’ari
Melihat sebagian kaum mutakalim, yaitu para
teolog Asy’ariyah, tatkala mereka menerima kemutlakan qadha’ ilahi pada
perbuatan-perbuatan manusia, tampak kecondongan mereka kepada pemikiran
Jabariyah (determinisme). Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak
Tuhan ini, kaum Asy’ari menulis dalam Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk
kepada siapapun; di atas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat
hukum dan dapat menetukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat
Tuhan.[4]
Tuhan bersifat absolut dalam kehendak dan
kekuasaan-Nya. Seperti kata al-Dawwani, Tuhan adalah maha pemilik (Al-Malik)
yang bersifat absolut dan berbuat apa saja yang dapat mencela perbuatan-Nya.[5]
Al-Ghazali juga mengemukakan pendapat yang sama bahwa Tuhan dapat berbuat
apa saja yang dikehendaki-Nya.[6]
Bagi kaum Asy’ariah, Tuhan memang tidak
terikat kepada apa pun, tidak terikat kepada janji-janji, kepada norma-norma
keadilan dan sebagainya.
Namun sepengetahuan yang penulis dapatkan
selama sekolah di Madrasah Aliyah, penulis memahami bahwa takdir itu dibagi
menjadi dua, yaitu takdir mubram (mutlak) dan takdir mu’allaq (yang masih bisa
dirubah). Mubram di sini maksudnya adalah saat dimana Tuhan berkuasa penuh atas
kehendak yang Ia kehendaki tanpa bisa diganggu gugat lagi oleh makhluk manapun.
Contoh yang termasuk ke dalam takdir ini adalah kematian manusia, panjang
pendeknya usia dan jodoh. Sedangkan takdir mu’allaq adalah takdir yang mana
masih bisa diusahakan manusia untuk dibawa kearah mana takdir tersebut.
Maksudnya manusia disini masih bisa mengubah takdir ini melalui berbagai
ikhtiar yang dapat diperjuangkan. Contoh dari takdir ini misal ada orang yang
ingin pintar atau cerdas dalam suatu pelajaran, maka ia haruslah belajar dengan
rajin. Misal ingin punya banyak uang maka rajin-rajin untuk menabung. Di sini
sudah sangat jelas, bahwa takdir mu’allaq ini bergantung kepada usaha manusia
itu sendiri walaupun Tuhan pun ikut campur tangan, namun di sini hukum
sebab-akibat atau kausalitas jelas terealisasi.
3.
Imamiyah
Syi’ah lebih ke jalan tengah. Semua bersumber dari Allah, namun manusia
sepenuhnya memilih jalannya sendiri. Sebagai perumpamaan, Tuhan diibaratkan
dengan penyedia fasilitas listrik kereta api, maka manusia disini mendapat
posisi sebagai masinisnya, mau dikendalikan kemana kereta tersebut. Lalu kenapa
Tuhan masih terus membiarkan makhluk-Nya berbuat suatu kesalahan sedangkan
Tuhan itu Maha Tahu? Disni Tuhan layaknya seorang guru yang hanya memberi
fasilitas kepada murid-muridnya untuk melakukan hal-hal tertentu padahal ia
sendiri tahu bahwasannya murid tersebut kurang pandai dalam pelajaran itu, maka
sang guru hanya bisa memberinya sebuah wejangan atau nasehat guna membantu
murid tersebut dalam memahami pelajaran yang bersangkutan, namun semuanya
kembali lagi murid itu akan memenuhi saran guru itu atau tidak, yang jikalau ia
berhasil maka itu karena arahan sang guru yang dijalankan dengan baik, dan
apabila si murid itu gagal, maka itu adalah kesalahan atas jalan yang telah
dipilih oleh murid itu sendiri. Jadi, disini manusia mampunyai peran lebih
untuk memilih takdirnya sendiri.
C.
Faktor-Faktor Perubahan Nasib Manusia
Manusia tak
lepas dari keinginan akan menetapkan nasibnya sendiri. Karena itu, tentu saja
terdapat beberapa hal yang dapat manusia usahakan untuk menentukan nasib mereka
sendiri. Faktor-faktor yang dapat merubah nasib manusia yaitu :
1.
Faktor
material maksudnya yaitu adanya sebab
akibat yang terjadi di alam. Faktor ini
jelas kita harus membatasi diri dengan faktor material saja. seperti halnya
faktor yang mempengaruhi ajal, rizki,dan
keselamatan terbatas pada lingkup materi saja[7].
Faktor materilah yang mendekatkan pada ajal atau menjauhkannya. Contohnya: yang
terjadi di amerika serikat yaitu peremajaan sel, melapangkan rizki atau
menyempitkannya, contohnya bekerja atau melakukan hal-hal yang mendatangkan
rizki memberikan keselamatan pada tubuh, contohnya yaitu, ketika seseorang
berhati-hati ketika ingin menyeberang jalan atau tidak ingin terluka oleh
apapun.
2.
Faktor
spiritual yaitu hubungan manusia dengan Allah. Bagian faktor spiritual yaitu: Doa.
Misalnya doa agar terhindar dari mara bahaya, doa agar dikaruniai anak, doa mohon kebaikan hidup. Pendekatan kepada
Allah. Misalnya melakukan ibadah-ibadah atau amalan-amalan untuk memperlancar
rezeki, jodoh, dan sebagainya. Pensucian diri. Misalnya agar orang itu mencapai
kesempurnaan dan terpenuhi aspek-aspek batiniahnya.
D.
Pengaruh Takdir atas Manusia
Tidak ada
sesuatu yang lebih mengganggu jiwa seseorang daripada perasaan bahwa dia hidup
dibawah bayang-bayang kekuasaan dan cengkraman kekuatan absolute yang amat kuat
serta mencengkram seluruh aspek kehidupannya. Nikmat manusia yang paling besar
adalah kemerdekaan, karena tak dapat dielak lagi bahwa perasaan terjajah adalah
perasaan paling memedihkan.
Jika
membayangkan yang berkuasa atas diri itu manusia yang hebat atau binatang buas
saja sudah membuat kita ketakutan, Apalagi jika yang berkuasa adalah kekuatan
ghaib yang mahadahsyat yang menguasai seluruh aspek diri kita. Sudah pasti akan
lebih parah lagi dan harapanpun langsung pupus.
Kemudian dari
sini, lahirlah pertanyaan, benarkah peristiwa alam ini berjalan sesuai dengan
perencanaan ketat dan tanpa celah kemungkinan terjadinya kesalahan? Apakah ada
kekuatan tersembunyi yang disebut qadha dan qadhar yang menguasai sepenuhnya
segala peristiwa yang terjadi?
Masalah qadha
dan qadhar adalah masalah filosofis yang amat pelik dan rumit yang sejak dulu
dijadikan bahasan pembahasan dikalangan pemikir Muslim. Berbagai aliran
(mazhab) akidah yang mengemukakan pendapat dalam bidang ini sangat besar
peranannya dalam memunculkan pertikaian dan perpecahan kelompok-kelompok.
Dari segi
praktis, takdir (qadha dan qadhar) dapat menimbulkan 2 hal:
a.
Reaksi
intuitif yang berkaitan dengan pemikiran orang itu sendiri dari setiap
pembahasan masalah terhadap praktek hidup praktisnya, serta cara penangannya
terhadap peristiwa yang terjadi. Terdapat perbedaan dalam mental dan perilaku
orang yang menggangap dirinya sepenuhnya terbelenggu dan orang lain yang
menganggap dirinya berkuasa penuh atas dirinya sendiri.
b.
Pengaruh
penting yang ditimbulkan pada pemikiran oleh masalah ini. Walaupun permasalahan
ini merupakan permasalahan yang pelik dan rumit, masalah ini pasti mau tak mau
masuk ke dalam pemikiran siapa saja, bahkan yang memiliki kapasitas minim dalam
hal pemikiran masalah-masalah integral, karena setiap orang memiliki perasaan
bahwa dia mampu menentukan sendiri nasibnya.
Dengan dua
aspek ini, masalah takdir dapat digolongkan ke dalam persoalan-persoalan
praktis dan sosial.
Para
ahli dari masa lalu telah membahas tentang masalah ini, tapi tidak cukup
memperhatikan aspek ini. Mereka hanya mencurahkan pada aspek filososfis dan
teologinya semata. Sebalinya, para ahli masa kini berusaha memberi perhatian
sebesar-besarnya pada aspek praktis dan sosialnya.
E.
Manfaat Keyakinan pada Takdir
Keyakinan pada
qadha dan qadar, disamping merupakan peringkat tinggi makrifatullah yang mampu
mengantar pada kesempurnaan insaninya, juga mempunyai banyak manfaat dari segi
praktikal. Berikut ini beberapa manfaatnya:
1.
Tidak
akan takut pada peristiwa yang menyakitkan
Orang
yang meyakini bahwa setiap peristiwa tidak lepas dari Allah Yang Maha Bijak
tidak akan takut pada peristiwa yang menyakitkan. Dia akan merasa yakin bahwa
hal itu merupakan bagian tatanan dari Ilahi Yang Bijak dan pasti membawa pada
kebajikan dan kemaslahatan. Dia akan merasa ridho pada apapun yang terjadi yang
membuat dia sampai pada sifat-sifat terpuji seperti sabar, tawadhu, dan
lain-lain.
2.
Tidak
akan terkait atau tertipu oleh dunia
Orang
yang meyakini takdir akan sadar bahwa segala sesuatu adalah milik Allah dan
kehendak Allah. Dia tidak akan tergiur oleh kemewahan dan tipu daya dunia
materi.
3.
Tidak
akan terjangkit penyakit sombong
Orang
yang percaya pada takdir tidak akan bangga akan kesenangan yang diperolehnya.
Dia akan menjadikannya sebagai sarana semata.
Allah menyinggung manfaat-manfaat ini dalam firman-Nya:
“Tidak ada
suatu bencana apapun yang menimpa di muka bumi ini dan tidak pula pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab lauh al-mahfuzh, sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami
jelaskan yang demikian itu agar kalian tidak berduka cita dari apa yang lepas
dari diri kalian dan supaya kalian jangan terlalu bergembiraterhadap apa yang
diberikan-Nya terhadap kalian dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi
membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid:
22-23)
Kita harus
menghindari pengaruh dari penafsiran menyimpang terhadap masalah qadha, qadar,
dan tauhid dalam kemandirian pengaruh Allah. Penafsiran keliru ini akan
berujung pada kejemuan, kemalasan, kepasrahan di hadapan penguasa dzalim,
kejahatan penguasa dzalim, dan pelarian diri dari tanggung jawab.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Qadha yang berarti ketetapan dan Qadhar berarti ukuran. Qadha
merupakan ilmu Allah yang telah ditetapkan sejak zaman azali, sedangkan qadar
merupakan perwujudan dari qadha Allah sesuai dengan iradahNya.
Dalam pandangan
Mu’tazilah menyatakan bahwa takdir sepenuhnya ada di tangan manusia. Hal ini
berlawanan dengan asy ‘ari yang menyatakan bahwa takdir sepenuhnya di tangan
Allah. Di antara keduanya terdapat pandangan Imamiyah yang menyatakan bahwa
tuhan yang merupakan sumber dari segalanya menyediakan fasilitas, sedangkan
manusia bertindak sebagai pengelola.
Ada beberapa factor
yang bisa merubah nasib manusia, yaitu factor material dan spiritual. Factor
material seperti bekerja dan factor spiritual seperti berdoa dan pendekatan
kepada Allah. Di samping itu, takdir juga memberikan pengaruh terhadap manusia
yakni pada sikap intuitif dan pemikiran.
Adapun manfaat dari kepercayaan seseorang terhadap takdir yakni
tidak akan tertipu pada hal dunia, tidak takut pada peristiwa yang menyakitkan
serta tidak akan bersikap sombong. Karena pada hakikatnya kita akan kembali
kepada pencipta kita.
Dengan konsep
demikian kita dapat menimbang salah satu pendapat public tentang suatu
kejadian,
Sehingga kita
punya hak atas tanggung jawab terhadapa Sesuatu.
B.
Saran
Terkait
pesan dari penulis, penulis mengharapkan agar pengetahuan mengenai Takdir bagi Mahasiswa tidak hanya terkungkung dalam makalah
sederhana ini. penulis berharap kepada para pembaca untuk terus menggali
keluasan ilmu Akidah dalam buku-buku atau referensi-referensi yang penjelasan pengetahuan
ilmunya lebih luas. Kami berharap agar makalah yang sangat sederhana ini bisa
bermanfaat bagi sesama terlebih untuk mencerdaskan pemikiran generasi kemudian.
Penulis juga berharap agar setiap orang
dapat memahami konsep takdir dengan baik agar ia tidak salah dalam memahami
kehidupan. Ia harus menyadari bahwa dirinya diberikan potensi-potensi dari
Allah untuk berfikir dan bertindak.
[1]
Hafidz, Pengertian Qadha dan Qadhar, http://www.abalhafiz.blogspot.co.id
di akses pada 27 oktober 2015 pukul 22.42 WIB
[2]
Ibid,.
[3] LE Systeme Philosophique des Mu’tazilah, (selanjutnya disebut Le Systeme)
Beyrouth, Les Lettres Orientales, 1956, hlm.82
[7]
Murtadha Muthahhari,2001, muthahhari paperbacks, hal 51 cet. pertama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar