Selasa, 22 Desember 2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam sebagai sebuah agama di sisi Allah SWT yang di bawa oleh nabi Muhammad SAW telah menciptakan perubahan besar dalam kehidupan manusia. Perubahan tersebut kita rasakan hingga saat ini. Islam datang untuk menyelamatkan dan menyempurnakan akal manusia, sehingga islam merupakan agama yang rasional tentunya.
Al Quran sebagai kitab suci umat islam senantiasa menjadi petunjuk bagi manusia sepanjang masa. Al Quran menjadi dasar pedoman umat islam dalam menentukan segala aspek kehidupan.
Salah satu pembahasan dalam Al Quran yakni mengenai takdir. Takdir merupakan ilmu Allah. Berkenaan dengan hal itu, manusia sebagai makhluk yang diberikan akal tentu saja mempunyai pilihan dalam menentukan sesuatu yang diperbuatnya. Manusia dapat berkehendak sesuai dengan apa yang ia pikirkan. Antara takdir Allah dan kehendak manusia ini telah menimbulkan beberapa pendapat antar umat muslim. Oleh karena itu, kita perlu membahas dan menjelaskan tentang takdir. Karena takdir tidak hanya sebatas sebuah keyakinan semata, tetapi akan sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia.
. social, kejadian-kejadian di beberapa tempat seperti di mina, banyak yang menjustifikasi itu adl qada dan qadar, lalu gimana/
Hubungan qada qadar dengan tanggung jawb manusia.              

B.     Ruang Lingkup Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan ruang lingkup di antaranya:
1.      Penjelasan mengenai takdir akan penulis jelaskan dengan melihat konsep takdir yang diyakini oleh beberapa mazhab yakni Asy ‘ariyah, Mu’tazilah, dan Imamiyah.
2.      Penulis juga menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi takdir serta pengaruh dan manfaatnya terhadap kehidupan manusia.


C.    Tujuan Makalah
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini yaitu:
1.      Menjelaskan tentang konsep takdir beserta faktor-faktor, pengaruh dan manfaatnya dalam kehidupan manusia.



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Definisi Takdir
1.    Pengertian Qadha
Secara etimologi, qadha berasal dari bahasa arab qadha yaqdhi yang artinya menetapkan. Sedangkan secara terminology, qadha adalah pengetahuan yang lampau , yang mana  telah ditetapkan Allah sejak jaman Azali.
Kata qadha disini juga berarti  menuntaskan dan memutuskan sesuatu yang di dalamnya menyiratkan semacam unsur-unsur konvensi (kesepakatan yang tersirat langsung).

2.    Pengertian Qadar
Secara etimologi, qadar berasal dari kata qaddara, yuqaddiru, takdiirun yang berarti kadar. Pengertian ini bisa dilihat dalam ayat Allah yang artinya “ Dan dia menciptakan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh diatasnya. Dia memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuninya) dalam empat masa . (penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Fushshilat 41).
Secara terminologi, qadar adalah perwujudan ketetapan atau qadha terhadap segala sesuatu yang berkenaan dengan makhluk allah yang telah ada sejak zaman azali sesuai dengan iradahnya.[1] Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha). Kata qadar ukuran (miqdar) dan taqdir (takdir)  yaitu suatu ukuran dan menjadikanya pada ukuran tertentu, atau menciptakan sesuatu dengan ukuran yang ditentukan.
Adapaun definisi-definisi menurut ulama mutakallimin yakni:
v  Golongan Asy’ariyah
Qadah adalah iradah Allah swt dalam penentuan ajal yang berhubungan dengan segala hal dan keadaan, kebaikan atau keburukanya keadaan yang sesuai  dengan apa yang akan diciptakan Allah yang tidak akan berubah sampai terbuktinya iradah tersebut. Sedangkan qadar adalah mewujudkan Allah terhadap semua mahluk tertentu, baik mengenai zat ataupun sifatnya dimana keadaan itu sesuai dengan iradah Allah.
v  Golongan Maturdiyah.
Qadha adalah iradah Allah dalam azalnya berhubungan dengan segalah hal dan keadaan, kebaikan atau keburukanya. Keadaan mana yang sesuai dengan apa yang diciptakan Allah tidak akan berubah sampai terbuktinya iradah tersebut. Sedangkan qadar adalah terbuktinya semua kejadiaan dan mahluk di alam semesta , sehingga benar-benar wujud , lengkap dengan sebabnya, serta sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Qadah Allah swt.[2]

B.  Konsep Takdir menurut Beberapa Mazhab
Qadha’ dan Qadar dapat dibagi menjadi dua bagian: qadha’ dan qadar yang pasti (hatmi) dan qadha dan qadar yang tidak pasti (ghoiri hatmi). Berdasarkan pembagian ini, sebagian riwayat, hadis-hadis dan doa-doa menyinggung perubahan tersebut. Diantaranya adalah bahwa bersedekah, patuh kepada kedua orang tua, silaturahim dan doa termasuk faktor-faktor yang bisa mengubah qadha’.
           Sebagai akibat dari perbedaan paham yang terdapat dalam aliran-aliran teologi Islam mengenai soal kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuatan manusia atas kehendak dan perbuatannya, terdapat pula perbedaan paham tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang dalam hal ini lebih mengarah kepada qadha’ dan qadar Tuhan atau takdir Tuhan.  Dan inilah perbedaan-perbedaan mengenai qadha’ dan qadar  menurut beberapa mazhab:
1.    Mu’tazilah
            Artinya bebas (ditangan manusia sendiri). Tidak menerima pandangan jabariyah yang mengatakan bahwa semua hal baik maupun buruk, takdir yang baik maupun buruk hanya Allah yang mampu mengatur dan menghendakinya. Kaum Mu’tazilah mengingkari qadha’ Ilahi pada seluruh  perbuatan manusia yang bersifat sengaja dan berkehendak bebas. Maksudnya ialah kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak lagi mempunyai sifat mutlak semutlak-mutlaknya. Seperti terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan.[3] menurut mereka karena jikalau Tuhan berbuat sekehendak sendiri, maka Tuhan tidak lagi dikatakan bersifat adil. Kaum Mu’tazilah menganut paham bahwa tiap-tiap benda mempunyai natur atau hukum alam sendiri.
     Semua uraian diatas mennjukkan bahwa dalam paham mu’tazilah kekuasaan mutlak Tuhan mempunyai batasan-batasan, dan Tuhan sendiri sebagai kata al-Manar, tidak bersikap absolut seperti halnya dengan Raja Absolut yang menjatuhkan hukuman menurut kehendaknya semata-mata. Keadaan Tuhan yang demikian lebih dekat menyerupai keadaan Raja Konstitusional, yang kekuasaan-Nya dan kehendak-Nya dibatasi oleh konstitusi.


2.    Asy’ari
Melihat sebagian kaum mutakalim, yaitu para teolog Asy’ariyah, tatkala mereka menerima kemutlakan qadha’ ilahi pada perbuatan-perbuatan manusia, tampak kecondongan mereka kepada pemikiran Jabariyah (determinisme). Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, kaum Asy’ari menulis dalam Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun; di atas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menetukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan.[4]
Tuhan bersifat absolut dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Seperti kata al-Dawwani, Tuhan adalah maha pemilik (Al-Malik) yang bersifat absolut dan berbuat apa saja yang dapat mencela perbuatan-Nya.[5] Al-Ghazali juga mengemukakan pendapat yang sama bahwa Tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya.[6]
Bagi kaum Asy’ariah, Tuhan memang tidak terikat kepada apa pun, tidak terikat kepada janji-janji, kepada norma-norma keadilan dan sebagainya.
Namun sepengetahuan yang penulis dapatkan selama sekolah di Madrasah Aliyah, penulis memahami bahwa takdir itu dibagi menjadi dua, yaitu takdir mubram (mutlak) dan takdir mu’allaq (yang masih bisa dirubah). Mubram di sini maksudnya adalah saat dimana Tuhan berkuasa penuh atas kehendak yang Ia kehendaki tanpa bisa diganggu gugat lagi oleh makhluk manapun. Contoh yang termasuk ke dalam takdir ini adalah kematian manusia, panjang pendeknya usia dan jodoh. Sedangkan takdir mu’allaq adalah takdir yang mana masih bisa diusahakan manusia untuk dibawa kearah mana takdir tersebut. Maksudnya manusia disini masih bisa mengubah takdir ini melalui berbagai ikhtiar yang dapat diperjuangkan. Contoh dari takdir ini misal ada orang yang ingin pintar atau cerdas dalam suatu pelajaran, maka ia haruslah belajar dengan rajin. Misal ingin punya banyak uang maka rajin-rajin untuk menabung. Di sini sudah sangat jelas, bahwa takdir mu’allaq ini bergantung kepada usaha manusia itu sendiri walaupun Tuhan pun ikut campur tangan, namun di sini hukum sebab-akibat atau kausalitas jelas terealisasi.

3.    Imamiyah
Syi’ah lebih ke jalan tengah.  Semua bersumber dari Allah, namun manusia sepenuhnya memilih jalannya sendiri. Sebagai perumpamaan, Tuhan diibaratkan dengan penyedia fasilitas listrik kereta api, maka manusia disini mendapat posisi sebagai masinisnya, mau dikendalikan kemana kereta tersebut. Lalu kenapa Tuhan masih terus membiarkan makhluk-Nya berbuat suatu kesalahan sedangkan Tuhan itu Maha Tahu? Disni Tuhan layaknya seorang guru yang hanya memberi fasilitas kepada murid-muridnya untuk melakukan hal-hal tertentu padahal ia sendiri tahu bahwasannya murid tersebut kurang pandai dalam pelajaran itu, maka sang guru hanya bisa memberinya sebuah wejangan atau nasehat guna membantu murid tersebut dalam memahami pelajaran yang bersangkutan, namun semuanya kembali lagi murid itu akan memenuhi saran guru itu atau tidak, yang jikalau ia berhasil maka itu karena arahan sang guru yang dijalankan dengan baik, dan apabila si murid itu gagal, maka itu adalah kesalahan atas jalan yang telah dipilih oleh murid itu sendiri. Jadi, disini manusia mampunyai peran lebih untuk memilih takdirnya sendiri.


C.  Faktor-Faktor Perubahan Nasib Manusia
Manusia tak lepas dari keinginan akan menetapkan nasibnya sendiri. Karena itu, tentu saja terdapat beberapa hal yang dapat manusia usahakan untuk menentukan nasib mereka sendiri. Faktor-faktor yang dapat merubah nasib manusia yaitu :
1.    Faktor material maksudnya yaitu  adanya sebab akibat yang terjadi di alam.  Faktor ini jelas kita harus membatasi diri dengan faktor material saja. seperti halnya faktor yang mempengaruhi ajal, rizki,dan  keselamatan terbatas pada lingkup materi saja[7]. Faktor materilah yang mendekatkan pada ajal atau menjauhkannya. Contohnya: yang terjadi di amerika serikat yaitu peremajaan sel, melapangkan rizki atau menyempitkannya, contohnya bekerja atau melakukan hal-hal yang mendatangkan rizki memberikan keselamatan pada tubuh, contohnya yaitu, ketika seseorang berhati-hati ketika ingin menyeberang jalan atau tidak ingin terluka oleh apapun.

2.    Faktor spiritual yaitu hubungan manusia dengan Allah. Bagian faktor spiritual yaitu: Doa. Misalnya doa agar terhindar dari mara bahaya, doa agar dikaruniai anak,  doa mohon kebaikan hidup. Pendekatan kepada Allah. Misalnya melakukan ibadah-ibadah atau amalan-amalan untuk memperlancar rezeki, jodoh, dan sebagainya. Pensucian diri. Misalnya agar orang itu mencapai kesempurnaan dan terpenuhi aspek-aspek batiniahnya.


D.  Pengaruh Takdir atas Manusia
Tidak ada sesuatu yang lebih mengganggu jiwa seseorang daripada perasaan bahwa dia hidup dibawah bayang-bayang kekuasaan dan cengkraman kekuatan absolute yang amat kuat serta mencengkram seluruh aspek kehidupannya. Nikmat manusia yang paling besar adalah kemerdekaan, karena tak dapat dielak lagi bahwa perasaan terjajah adalah perasaan paling memedihkan.
Jika membayangkan yang berkuasa atas diri itu manusia yang hebat atau binatang buas saja sudah membuat kita ketakutan, Apalagi jika yang berkuasa adalah kekuatan ghaib yang mahadahsyat yang menguasai seluruh aspek diri kita. Sudah pasti akan lebih parah lagi dan harapanpun langsung pupus.
Kemudian dari sini, lahirlah pertanyaan, benarkah peristiwa alam ini berjalan sesuai dengan perencanaan ketat dan tanpa celah kemungkinan terjadinya kesalahan? Apakah ada kekuatan tersembunyi yang disebut qadha dan qadhar yang menguasai sepenuhnya segala peristiwa yang terjadi?
Masalah qadha dan qadhar adalah masalah filosofis yang amat pelik dan rumit yang sejak dulu dijadikan bahasan pembahasan dikalangan pemikir Muslim. Berbagai aliran (mazhab) akidah yang mengemukakan pendapat dalam bidang ini sangat besar peranannya dalam memunculkan pertikaian dan perpecahan kelompok-kelompok.
Dari segi praktis, takdir (qadha dan qadhar) dapat menimbulkan 2 hal:
a.    Reaksi intuitif yang berkaitan dengan pemikiran orang itu sendiri dari setiap pembahasan masalah terhadap praktek hidup praktisnya, serta cara penangannya terhadap peristiwa yang terjadi. Terdapat perbedaan dalam mental dan perilaku orang yang menggangap dirinya sepenuhnya terbelenggu dan orang lain yang menganggap dirinya berkuasa penuh atas dirinya sendiri.
b.    Pengaruh penting yang ditimbulkan pada pemikiran oleh masalah ini. Walaupun permasalahan ini merupakan permasalahan yang pelik dan rumit, masalah ini pasti mau tak mau masuk ke dalam pemikiran siapa saja, bahkan yang memiliki kapasitas minim dalam hal pemikiran masalah-masalah integral, karena setiap orang memiliki perasaan bahwa dia mampu menentukan sendiri nasibnya.
Dengan dua aspek ini, masalah takdir dapat digolongkan ke dalam persoalan-persoalan praktis dan sosial.
Para ahli dari masa lalu telah membahas tentang masalah ini, tapi tidak cukup memperhatikan aspek ini. Mereka hanya mencurahkan pada aspek filososfis dan teologinya semata. Sebalinya, para ahli masa kini berusaha memberi perhatian sebesar-besarnya pada aspek praktis dan sosialnya.

E.  Manfaat Keyakinan pada Takdir
Keyakinan pada qadha dan qadar, disamping merupakan peringkat tinggi makrifatullah yang mampu mengantar pada kesempurnaan insaninya, juga mempunyai banyak manfaat dari segi praktikal. Berikut ini beberapa manfaatnya:
1.        Tidak akan takut pada peristiwa yang menyakitkan
Orang yang meyakini bahwa setiap peristiwa tidak lepas dari Allah Yang Maha Bijak tidak akan takut pada peristiwa yang menyakitkan. Dia akan merasa yakin bahwa hal itu merupakan bagian tatanan dari Ilahi Yang Bijak dan pasti membawa pada kebajikan dan kemaslahatan. Dia akan merasa ridho pada apapun yang terjadi yang membuat dia sampai pada sifat-sifat terpuji seperti sabar, tawadhu, dan lain-lain.
2.        Tidak akan terkait atau tertipu oleh dunia
Orang yang meyakini takdir akan sadar bahwa segala sesuatu adalah milik Allah dan kehendak Allah. Dia tidak akan tergiur oleh kemewahan dan tipu daya dunia materi.
3.        Tidak akan terjangkit penyakit sombong
Orang yang percaya pada takdir tidak akan bangga akan kesenangan yang diperolehnya. Dia akan menjadikannya sebagai sarana semata.
Allah menyinggung manfaat-manfaat ini dalam firman-Nya:
“Tidak ada suatu bencana apapun yang menimpa di muka bumi ini dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab lauh al-mahfuzh, sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu agar kalian tidak berduka cita dari apa yang lepas dari diri kalian dan supaya kalian jangan terlalu bergembiraterhadap apa yang diberikan-Nya terhadap kalian dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 22-23)
Kita harus menghindari pengaruh dari penafsiran menyimpang terhadap masalah qadha, qadar, dan tauhid dalam kemandirian pengaruh Allah. Penafsiran keliru ini akan berujung pada kejemuan, kemalasan, kepasrahan di hadapan penguasa dzalim, kejahatan penguasa dzalim, dan pelarian diri dari tanggung jawab.



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Qadha yang berarti ketetapan dan Qadhar berarti ukuran. Qadha merupakan ilmu Allah yang telah ditetapkan sejak zaman azali, sedangkan qadar merupakan perwujudan dari qadha Allah sesuai dengan iradahNya.
          Dalam pandangan Mu’tazilah menyatakan bahwa takdir sepenuhnya ada di tangan manusia. Hal ini berlawanan dengan asy ‘ari yang menyatakan bahwa takdir sepenuhnya di tangan Allah. Di antara keduanya terdapat pandangan Imamiyah yang menyatakan bahwa tuhan yang merupakan sumber dari segalanya menyediakan fasilitas, sedangkan manusia bertindak sebagai pengelola.
          Ada beberapa factor yang bisa merubah nasib manusia, yaitu factor material dan spiritual. Factor material seperti bekerja dan factor spiritual seperti berdoa dan pendekatan kepada Allah. Di samping itu, takdir juga memberikan pengaruh terhadap manusia yakni pada sikap intuitif dan pemikiran.
Adapun manfaat dari kepercayaan seseorang terhadap takdir yakni tidak akan tertipu pada hal dunia, tidak takut pada peristiwa yang menyakitkan serta tidak akan bersikap sombong. Karena pada hakikatnya kita akan kembali kepada pencipta kita.
Dengan konsep demikian kita dapat menimbang salah satu pendapat public tentang suatu kejadian,
Sehingga kita punya hak atas tanggung jawab terhadapa Sesuatu.

B.  Saran
Terkait pesan dari penulis, penulis mengharapkan agar pengetahuan mengenai Takdir bagi Mahasiswa tidak hanya terkungkung dalam makalah sederhana ini. penulis berharap kepada para pembaca untuk terus menggali keluasan ilmu Akidah dalam buku-buku atau referensi-referensi yang penjelasan pengetahuan ilmunya lebih luas. Kami berharap agar makalah yang sangat sederhana ini bisa bermanfaat bagi sesama terlebih untuk mencerdaskan pemikiran generasi kemudian.
       Penulis juga berharap agar setiap orang dapat memahami konsep takdir dengan baik agar ia tidak salah dalam memahami kehidupan. Ia harus menyadari bahwa dirinya diberikan potensi-potensi dari Allah untuk berfikir dan bertindak.



[1] Hafidz, Pengertian Qadha dan Qadhar, http://www.abalhafiz.blogspot.co.id di akses pada 27 oktober 2015 pukul 22.42 WIB
[2] Ibid,.
[3] LE Systeme Philosophique des Mu’tazilah, (selanjutnya disebut Le Systeme) Beyrouth, Les Lettres Orientales, 1956, hlm.82
[4] Al-Ibanah hlm.68
[5] ‘Abduh, 546
[6] Al-Iqtisad, 184
[7] Murtadha Muthahhari,2001, muthahhari paperbacks, hal 51 cet. pertama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar